Dulu, ketika aku masih kecil, aku selalu merinding mendengar kata ini : Mahasiswa. Maha dan siswa. Begitu prestisius. Seolah-olah menjadi puncak tertinggi dari semuanya. Bahkan dulu aku lebih mengagumi kata mahasiswa dibanding presiden hehe. Bagaimana tidak? Sedikit saja presiden salah mengambil langkah, akan ada berpuluh-puluh demonstran mahasiwa dari Sabang sampai Merauke, meneriakkan kata-kata penuh semangat menentang presiden itu.
Jujur, dulu juga aku selalu sebal melihat mahasiswa yang berdemonstrasi. Apalagi yang cara demonya anarkis. Aku selalu berpikir, kok bukannya belajar, malah sibuk membuat keributan di jalan. Bukankah lebih baik mereka belajar dulu yang benar untuk membela rakyat kelak? Tak usahlah berdemo-demo segala, cuma bikin capek saja. Didengar pun sudah syukur, apalagi direspon. Udah alhamdulillah banget. -Itu adalah isi dari pikiran seorang anak kecil hehe- akhirnya pun kata mahasiswa pun jadi terdengar cukup menjengkelkan bagiku dulu.
Tapi, ketika aku memasuki bangku SMP, pandanganku tentang mahasiswa pun berubah... ini semua bermula dari menonton Soe Hok Gie. Pasti udah tau Soe Hok Gie kan?
Soe Hok Gie adalah sosok yang benar-benar kritis. Cara pikirnya benar-benar sekarat. Ia begitu peduli dengan keadaan sekitarnya. Ia adalah golongan yang benar-benar peduli dengan rakyat kelas bawah dan tak menyukai pada kaum atas yang tak berkeprimanusiaan. Ia bertindak bukan karena ingin dilirik sebagai mahasiswa 'agent of change', tapi karena ia benar-benar peduli.
Ia berani mengkritik pemerintahan Soekarno lewat tulisan-tulisannya yang tajam. Sekali lagi, bukan karena ia ingin mencari sensasi.
Jaman sekarang, susah rasanya mencari sosok mahasiswa pengganti Soe Hok Gie. Apakah mahasiswa yang bedemonstrasi benar-benar peduli pada rakyat? Atau hanya karena tersulut saja? Apakah mereka mengerti pokok masalah negeri ini? Atau termakan umpan kaum-kaum kiri pmerintahan?
Ya, sampai seribu abad yang akan datang pun, sulit menemukan pengganti Soe Hok Gie, seorang idealis sejati, yang bertindak sendiri, bukan karena terbawa arus.
. Tapi aku tetap berharap paradigma mahasiswa sekarang berubah.
Seperti kata Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, yang mempersembahkan editorial khusus setelah kematian Soe Hok Gie:
…Tanpa menuntut agar semua insan
menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat
menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti
dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan
kesalahan.
Dan Wahai Mahasiswa, ingatlah kata-kata Soe Hok Gie:
Mimpi saya
yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia
berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan
pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai
seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang
mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Saya ingin melihat
mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti
politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang
dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah
sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau
golongan apapun.
Masih
terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan,
tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi
dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka
akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam
tadi.
Berkat
Soe Hok Gie, aku sadar bahwa tugas mahasiwa bukan hanya untuk menimba ilmu di
sebuah telaga yang bernama 'kampus'. Tapi untuk kritis atas segala perubahan,
terutama pada pergejolakan yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Apalagi
bila perubahan itu menyangkut soal pergeseran nilai kebenaran dan
keadilan. Namun, ada cara-cara elit bagi kita untuk mengkritik dan menanggapi
itu semua. Demonstrasi secara anarkis tanpa pemikiran yang matang bukanlah
jawabannya. Sebagai mahasiswa, sudah seharusnya kita berpikir dulu sebelum
bertindak.
Seperti
Soe Hok Gie, kita bisa saja mengkritik lewat tulisan. Atau dengan kepala dingin
berdiskusi bersama pihak yang dituju. Pokoknya, hindari demonstrasi yang
anarkis! Jangan ada keributan dan kericuhan yang meresahkan warga! Jangan
sampai idealisme membawa kita menjadi sosok yang ingin didengar tapi tidak
mendengar sama sekali.
mendadak
aku jadi teringat puisi Soe Hok Gie...
Saya mimpi tentang sebuah dunia, Di mana ulama - buruh
dan pemuda,
Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan, Stop
semua pembunuhan atas nama apa pun.
Dan para politisi di PBB,Sibuk mengatur pengangkutan
gandum, susu dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,Dan lupa akan
diplomasi.
Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun, Agama apa pun,
ras apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan melupakan perang dan kebencian, Dan hanya sibuk
dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Tuhan - Saya mimpi tentang dunia tadi, Yang tak pernah
akan datang.
Sekarang,
setelah aku menjadi mahasiswa, aku belum merasa menjadi 'mahasiswa'. Aku pun
melihat kebanyakan mahasiswa di Indonesia belum menjadi sosok mahasiswa yang
sesungguhnya.
Memang
bagaimana sih sosok mahasiswa sesungguhnya? Aku tak mengatakan Soe Hok Gie
sebagai acuannya hehe. Kan jaman dulu dengan sekarang itu berbeda jauh... jadi
bentuk-bentuk mahasiswanya pun berbeda-beda, tak mungkin sama. Soe Hok Gie
lahir di waktu yang kehidupannya keras, yang penuh perjuangan. Sebuah masa yang
menuntut mahasiswa untuk tampil berani membela rakyat yang tertindas.
Tapi
tetap saja, Indonesia akan selalu mebutuhkan mahasiswa yang tak takut untuk
membela kebenaran dan selalu memusnahkan kemunafikan. Yang tak akan pernah mati
idealismenya, bahkan ketika realita menamparnya sedemikian rupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar