Rabu, 24 Oktober 2012

Mahasiswa bagi Indonesia









Apa sih sebenarnya mahasiswa itu? Apakah hanya seorang pelajar yang menimba ilmu di sebuah universitas? Apakah lebih dari itu? Apakah mahasiswa adalah seorang yang memperjuangkan nasib rakyat? Nah, pertanyaan-pertanyaan itu semakin menggila di pikiranku semenjak aku baru jadi mahasiswa hehe. Jujur, untuk menjawab pertanyaan ini, aku ampe minta bantuan ke mbah google, om wiki dan mamaku hehe :p

Hmm, berdasarkan jawaban om wiki, mahasiswa/i adalah pelajar panggilan orang yang menjalani pendidikan tinggi di universitas atau perguruan tinggi. Sepanjang sejarah, mahasiswa/i telah mengambil peran penting. Pasti tahu kan pas masa-masanya pemerintahan Soekarno dan Soeharto? Eiitsss, tapi sebenarnya peran mahasiswa dalam membangun bangsa Indonesia telah dimulai jauuh sebelum itu lohh hehe. Wanna know? Berikut cuplikan aku dapat dari sebuah blog yang ditulis seorang pekerja politik.



MASA PENJAJAHAN BELANDA

Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo di tahun 1915. Gerakkannya bukan dalam kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya: Djawa Raya. Dalam hal ini jelas bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme ataupun keadilan sosial sudah bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun pada konteks jamannya semua idealisme konsep-konsep tersebut belum bisa dirumuskan dan terwujud sebagai artikulator problem-problem konkrit masyarakat pada waktu itu ; Kolonialisme, kapitalisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan yang lebih parah: belum bisa menggerakkan massanya sesuai dengan artikulasinya tersebut.
Sejarawan-sejarawan yang idealis sering mengatakan, bahwa pada tahap awal gerakan elemen-elemen pelopor, pertama-tama harus bisa merumuskan problem-problem masyarakat dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk agitasi dan propaganda. Namun, realita sejarah menghidangkan kenyataan yang lain: kondisi subyektif gerakan belum bisa bersatu dengan kondisi obyektif di luar gerakan. Keduanya belum solid, keduanya belum bisa menyatu melalui tahap-tahap panjang, rumit dan mengesalkan.
Dan juga ada keharusan yang katanya logis dan absah, yang dipaksakan oleh sejarawan-sejarawan idealis, yakni keharusan yang mengatakan: karena ide-ide nasionalisme, liberal, komunisme, sosial-demokrat, islam dan lain-lainnya sudah masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, seharusnya kaum intelaktual membentuk diri menjadi pelopor yang mengartikulasi problem-problem masyarakat serta rakyatnya dan kemudian menggerakkan massanya. Persoalannya bukan saja terletak pada keinginan subyektif dan normatif dari kaum intelektual; persoalannya juga terletak pada tingkat kesadaran (level of consciesness) kaum intelektual itu sendiri (sebagai kondisi subyektif), tingkat kesadaran rakyatnya dan atmosfir ekonomi-politik pendorong tingkat kesadaran tersebut (sebagai kondisi obyektif). Jadi, logika sejarawan idealis tidaklah berpijak pada realitas sejarah, logika yang tidak historis.
Atau bentuk dan watak organisasi seperti Trikoro Dharmo hanya merupakan taktik kaum pelopor dalam menghadapi kondisi pada saat itu? Tidak, tidak didapatkan data ilegal, baik tertulis (dokumen) maupun lisan, yang menyatakan hal tersebut.
Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Bond Ambon) dan tidak ada upaya berkonsolidasi. Hanya atas bantuan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) maka organisasi-organisasi tersebut dilebur menjadi Indonesia Moeda (IM) tahun 1930. Dalam tindakan konsolidasi, pelajar-pelajar mengambil inisiatif, juga dalam hal merubah konsep pelajarnya menjadi pemuda, yang secara teoretis lebih memungkinkan mewadahi massa yang lebih luas.
Perjuangan IM pada umumnya lunak, kecuali cabang Surabaya, Radikalisasi IM Surabaya berhasil memprovokasi kepala sekolah-kepala sekolah menengah untuk mengeluarkan Schoolverbood (pemecatan bagi pelajar-pelajar sekolah menengah yang memasuki IM). Dengan adanya peraturan tersebut dan intel-intel bangsa sendiri yang menyusup ke IM untuk mengadakan provokasi, maka IM menjadi lemah: menjadi organisasi dekaden/bejad, tempat foya-foya.
Hanya anggota IM yang sadarlah yang bisa keluar dari IM dan kemudian membentuk Soeloeh Pemoeda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemoeda Revolusioner (PERPIRI). Namun, dan memang wajar dalam masyarakat kolonial, dikeluarkanlah Vargader-verbod (pembubaran dan larangan berkumpul) bagi SPI dan PERPIRI. Tapi anggota-anggota yang konsisten melakukan gerakan bawah tanah. Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memiliki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Moeda dan melepaskan diri dari organisasi sektarian pemuda dan mahasiswa guna lebih mempertajam orientasi anti kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintah kolonial yang semakin represif, setelah pemerintah kolonial di uji oleh pemogokan-pemogokan buruh di awal tahun 1920-an dan pemberontakan PKI tahun 1926. Gerakan pemogokan buruh dan pemberontakan PKI tersebut merupakan suatu pengorbanan yang berharga positif; memberikan atmosfir pendidikan politik bagi kelanjutan pergerakan nasional. Banyak sejarawan Indonesia masih menolak menuliskan tinta emasnya bagi sejarah Indonesia kurun itu.
Didalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti ini, muncullah alternatif kelompok study (studieclub) yang politis dilihat dari orentasi dan tindakan politiknya, terbentuknya Indonesia Studieclub (IS) dan Algemeene Studieclub (AS). Makna politis dari kelompok study pada waktu itu adalah:
1) Mempelajari kondisi dan problem-problem konkrit yang berhubungan dengan negeri dan rakyat, kemudian mengadakan ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang berhubungan dengan buruh; upah, kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan rakyat; hal kondisi organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya pemilihan anggota Gementeraad (dewan Kota); Arti pergerakan, pendidikan nasional, parlemen, statistik perdagangan, gerakaan persatuan, kooperasi dan non-kooperasi, kerjasama diantara organisasi-organisasi politik dal lain-lain,
2) Membentuk komite dan pengumpulan bahan mengenai masyarakat koloni terutama Hindia Belanda, kemudian menyebarkannya dalam bentuk brosur-brosur atau surat kabar atau majalah, seperti Soeloeh Ra'jat Indonesia dan Soeleoeh Indonesia,
3) Mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata,
4) forumnya ditujukan pada sasaran masyarakat luas, pertemuannya terbuka di gedung-gedung pertemuan umum yang di hadiri oleh kalangan pergerakan dan masyarakat luas,
5) Mendukung pemogokan buruh bengkel dan elektrik di Surabaya bulan nopember 1925. Namun tidak dapat di pungkiri ada juga kelompok studi yang apolitis dan hanya berkubang di masalah-masalah teoritis, yaitu apa yang dinamakan Debating Club (Sukarno keluar dari organisasi ini dan masuk ke Algemeene Studieclub)
Dalam merespons perubahan politik yang lebih liberal akibat penggantian gubernur Jendral de Fock oleh de Graeff (pendukung van Limburg Stirum, liberalis), dan dalam kondisi ekonomi Belanda serta Hindia Belanda yang berada pada posisi merambat ke arah ekses penawaran (posisi demikian merupakan masa positif sebelum mencapai puncak konjunktur ekses penawaran dalam masa depresi kapitalisme pada tahun 1929-1930 maka IS dan AS berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Kelompok studi berhasil bertranformasi menjadi partai, ia merupakan cikal-bakal partai yang banyak menyumbang bagi tercapainya "kemerdekaan" Republik Indonesia. Tanda kutip pada kata kemerdekaan bermakna: Setelah Indonesia merdeka partai-partai tersebut,ternyata tidak berhasil memenangkan pertempuran untuk merubah hubungan sosial rakyat Indonesia menjadi lebih adil, unsur-unsur reaksioner juga turut dihidupkan dan menjadi kuat oleh momen sejarah Indonesia.
Namun demikian Studieclub telah memperlihatkan keunggulannya ketimbang kelompok studi tahun 1980-an. Kelompok studi tahun 80-an lebih menyerupai debating club dalam tindakannya, apolitis:
1) berkubang di masalah-masalah teoritis,
2) tidak bisa berdialektika sebagai unsur subyektif yang merespons dan menstimulasi kondisi obyektif dalam kondisi ekonomi-politik Orde Baru, ia bukannya bertransformasi menjadi politis tapi malahan membusuk. Lebih gegabah lagi bila kelompok studi tahun 80-an disimpulkan menjadi bertransformasi menjadi pelopor, dominan atau bahkan mengambil peranan kecil sekalipun sebagai koordinator dalam gerakan mahasiswa tahun 80-an. Kesimpulan ini bukan berarti kami tidak menghargai nilai lebih diskusi. Jangan samakan antara tindakan diskusi dengan tindakan kelompok studi secara keseluruhan.
Analisa terhadap sejarah studieclub jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi-politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda bisa direspon dan distimulasi oleh kondisi obyektif Studieclub yang bertransformasi menjadi partai. Jadi, sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa mandulnya gerakan mahasiswa dari basis kampus pada masa Orde Baru dan larinya mahasiswa dari basis kampus untuk membentuk kelompok studi adalah akibat oleh NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif, seolah-olah bila tidak ada NKK/BKK maka akan semarak dan menjadi kuatlah gerakan mahasiswa. Apakah hal ini terbukti pada gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an dimana pada waktu itu belum ada NKK/BKK? Tidak, sejarah membuktikan bahwa kondisi subyektif gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an tidak bisa merespons dan menstimulus ekonomi politik Orde Baru pada tahun 60-an dan 70-an. Perdebatan mengenai kondisi ekonomi-politik Orde Baru tahun 60-an dan 70-an memerlukan ruang tersendiri. Namun yang jelas, sebagai gejala, gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an benar-benar telah dilumpuhkan, terutama tahun 60-an benar-benar merupakan borok sejarah. Justru dalam skala tertentu, gerakan mahasiswa tahun 80-an dapat menembus NKK/BKK. Namun akumulasi dan kulminasi tindakan politik, maka yang lebih dapat di hargai adalah gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 70-an. Penghargaan itu tentunya adalah hanya sebatas bahwa gerakan tersebut telah memberikan atmosfir pendidikan politik dan tapak-tapak kabur pedoman menuju demokratisasi.
Masa setelah bertransformasinya Studieclub menjadi PBI dan PNI pada kurun sejarah inilah dapat di tebar pupuk momentum bagi konsolidasi, penyaringan dan semaraknya wadah-wadah massa pemuda dan pelajar. Hal ini terbukti dengan di selenggarakannya kongres Pemoeda Indonesia pada tahun 1928, yang berhasil menggabungkan pergerakan-pergerakan pemuda yang berorentasi luhur, memprioritaskan terwujudnya cita-cita nasionalisme, menjunjung harkat nusa bangsa: mengolah tercapainya kemerdekaan. Nama organisasi gabungan tersebut, dilihat secara semantik saja, sungguh mengejutkan dan menggembirakan: Pemoesatan Pergerakan Pemoeda Indonesia (PERPINDO) di pusat dan Pergaboengan Pemoeda (PERDA) di daerah. Dan, anggota-anggotanya adalah IM, Pemoeda Muhaammadijah, Persatoean Pemoeda Taman Siswa, Pemoeda Muslimin Indonesia, Persatoean Pemoeda Kristen Djawi, Barisan Pemoeda GERINDO dan PRRI.

MASA PENJAJAHAN JEPANG

Tentu saja ruang ini tidak cukup tersedia untuk membahas gerakan mahasiswa pada masa ini, yang cukup menggairahkan untuk di analisa namun harus memperhitungkan spektrum perdebatan yang cukup luas.
Yang pasti, semua organisasi pemuda yang ada di bubarkan, dan pemuda di masukkan kedalam, yang utama Seinendan-Keibondan (Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA) untuk dididik politik dan kegiatan-kegiatan menunjang fasisme: latihan militer untuk membela kepentingan ekonomi-politik Asia Timur Raya.
Jalan keluar bagi gerakan pemuda adalah: gerakan bawah tanah (Underground-legal). Ramainya pamflet-pamflet gelap, dan rapat-rapat gelap yang mengakibatkan adanya penangkapan-penangkapan oleh penguasa fasis Dai Nippon Jepang. Momentum gerakan bawah tanah, yang juga "katanya" dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno, merupakan jalan keluar yang lebih mencekam dan belum memassa, tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Dan harus dilacak mengapa Fron Anti Fasis tidak menampakkan sosok yang jelas.


MASA KEMERDEKAAN
1945-1950

Suatu momentum yang tidak disia-siakan oleh gerakan pemuda dan pelajar: selain mereka melucuti senjata Jepang, juga memunculkan kembali organisasi-organisasi mereka, misalnya Angkatan Pemoeda Indonesia (API), Pemuda Repoeblik Indonesia (PRI), Gerakan Pemoeda Repoeblik Indonesia (GERPRI), Ikatan peladjar Indonesia (IPI), Pemoeda Poetri Indonesia (PPI dan lain-lainnya.
Pada saat belum ada pemuda dan pelajar yang berbentuk federasi, diselenggarakanlah kongres Pemoeda Seloeroeh Indonesia I (1945) dan ke-II (1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya karena:
1) Dapat melahirkan organisasi gabungan Pemoeda Sosialis Indonesia (PESINDO) yang merupakan hasil peleburan API, PRI, GERPRI, AMRI dan sebagainya,
2) Terbentuknya badan Kongres ke-I berada dalam suasana semangat perjuangan bersenjata (pemuda turut berpartisipasi dalam pertempuran Nopember di Surabaya),
3) Kongres ke-II menghasilkan keputusan antara lain: Berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pimpinan yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.
Organisasi-organisasi seperti Perhimpoenan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpoenan Mahasiswa Katholik Jogja (PMJ), Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpoenan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpoenan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpoenan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI) dan Persatoean Peladjar Pergoeroean Tinggie Malang (PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpoenan-perhimpoenan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang khusus berada di daerah pendudukan Belanda.

Menjadi mahasiswa bukanlah sebuah tujuan, tapi sebagai alat. Yakni alat penghubung antar rakyat dan pemerintah. Mahasiswa, yang masih pure belum membela kepentingan siapa pun, diharapkan bisa meluruskan komunikasi antar pemerintah dan rakyat. Jangan sampai demokrasi jadi mandek di Indonesia. Nah, dari sini, terkenal istilah 'parlemen jalanan'. Pada tau parlemen jalanan itu apa? Parlemen jalanan adalah istilah yang dipakai untuk menyebut demonstran.

Menurut standar umum,  parlemen sering disimbolkan sebagai sebuah lembaga yang diisi oleh banyak manusia dari berbagai golongan yang berfungsi sebagai badan pengawas pemerintah oleh sebab itu kritik dari anggota parlemen kepada pemerintah merupakan sebuah pemandangan lumrah dalam sistem demokrasi, dalam tataran ini peranan parlemen penguasa (menurut bahasa penulis) masih bisa disejajarkan dengan parlemen jalanan karena kritik terhadap pemerintah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi mereka malah dari segi ketajaman dan keluasan kritik. Kritik perlemen jalanan terkadang berada satu tingkat diatas parlemen legal sebab mereka tidak hanya mengkritisi penguasa tetapi seluruh stake holder sistem termasuk parlemen legal.
 Parlemen jalanan mewakili diri sendiri dan semua orang yang merasa aspirasinya tidak sampai di pemerintahan; karenanya aspirasi itu disampaikan sendiri bersama demonstran yang lain. Rata-rata pelopor parlemen jalanan adalah mahasiswa atau angkatan muda. Angkatan muda yang mempunyai idealisme yang tinggi, penuh semangat, berjiwa nasionalis dan selaau mengutamakan kepentingan masyarakat banyak. Atribut yang dipakai oleh anggota parlemen jalnan itu sangat bervariasi dan senjata utama mereka adalah orasi, spanduk dan ikat kepala serta poster dan kadang-kadang ban yang biasa dibakar ketika aksi mereka berlangsung. Perjuangan kaum parlemen jlanan itu sangat militan, sehingga tak heran di sana terjadi pertumpahan darah dan ada korban nyawa. Ya, memang demonstrasi di jalan atau di gedung pemerintah merupakan gaya khas parlemen jalanan dalam mengartikulasikan pikiran dan suara hati rakyat. Namun,  dalam konteks ini kita tak akan merasa etis jika berusaha menggeneralisir demonstrasi adalah satu-satunya cara bagi parlemen jalanan dalam menyuarakan opini karena nyatanya ada alternatif lain yang terkadang mereka pakai dalam kondisi-kondisi tertentu. Parlemen jalanan harus menjalankan perannya secara massif, pengawasan ketat terhadap parlemen sistem, mempublikasikan kepada masyarakat semua kebobrokan anggota parlemen merupakan rutinitas harian bagi parlemen jalanan disamping itu pendidikan politik terhadap masyarakat harus menjadi prioritas karena sistem demokrasi kita sering terperosok ke tempat yang salah gara-gara orang yang melakukan pendidikan politik adalah orang yang tidak melek politik (baca: para caleg yang tidak paham politik nilai) dibutuhkan kelompok manusia yang melek politik  serta punya konsistensi tinggi dalam  mengusung politik nilai dan salah satu kelompok tersebut adalah parlemen jalanan.

Mahasiswa sering dikait-kaitkan dengan sebutan agent of change. “Agent of change (Agen Perubahan)” ini adalah sebuah kata yang sering menjadi retorika kebanggaan bagi para mahasiswa. Mahasiswa saat ini merasa bangga mereka disebut sebagai agent of change, namun pada hakekatnya mereka tidak mampu melakukan sebuah perubahan bahkan yang paling dasarpun dari agent of change yang berangkat dari sebuah kegelisahan, keresahan, ketidakpuasan sudah tidak lagi melekat dalam dirinya.
Sebuah pertanyaan mendasar adalah apakah benar mahasiswa saat ini masih layak menyandang “the agent of change”? Apakah benar mahasiswa saat ini masih mampu melihat dan peka terhadap permasalahan bangsa saat ini ataupun peka terhadap permasalahan yang ada di lingkungan sekitarnya? Apakah mahasiswa saat ini masih gelisah, resah, tidak puas dan bahkan memberontak melihat ketimpangan yang  seringkali terjadi yang pada akhirnya berimbas kepada masyarakat kecil? Atau malah mahasiswa tidak lagi memiliki rasa gelisah, resah, tidak puas dan bahkan tidak ada lagi rasa pemberontakan dalam dirinya untuk melawan ketimpangan sosial atau malah mahasiswa sudah menjadi makhluk buas yang individualis yang hanya mampu mengurusi dirinya sendiri. Ini adalah sebuah renungan bagi kita sekaligus tantangan untuk merefleksikan kembali semangat agent of change. Semangat dasar dari agent of changeterbangun atas kegelisahan, keresahan, ketidapuasan dan bahkan pemberontakan yang terlahir dari sebuah fenomena sosial.




“Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”


Pasti pernah dengar kata-kata itu kan? Yap, itu adalah kata-kata Bung Karno. Tersirat betul bahwa ia percaya bahwa pemudalah yang mampu merubah nasib suatu kaum bangsa. Oleh karena itu, kita, para mahasiswa, sebagai kaum pemuda, haruslah ingat bahwa kita adalah bagian dari pembangunan. Jangan sampai kita melupakan itu.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar