Apa sih sebenarnya mahasiswa itu? Apakah
hanya seorang pelajar yang menimba ilmu di sebuah universitas? Apakah lebih
dari itu? Apakah mahasiswa adalah seorang yang memperjuangkan nasib rakyat?
Nah, pertanyaan-pertanyaan itu semakin menggila di pikiranku semenjak aku baru
jadi mahasiswa hehe. Jujur, untuk menjawab pertanyaan ini, aku ampe minta
bantuan ke mbah google, om wiki dan mamaku hehe :p
Hmm, berdasarkan jawaban om wiki,
mahasiswa/i adalah pelajar panggilan orang yang menjalani pendidikan tinggi di
universitas atau perguruan tinggi. Sepanjang sejarah, mahasiswa/i telah
mengambil peran penting. Pasti tahu kan pas masa-masanya pemerintahan Soekarno
dan Soeharto? Eiitsss, tapi sebenarnya peran mahasiswa dalam membangun bangsa
Indonesia telah dimulai jauuh sebelum itu lohh hehe. Wanna know? Berikut
cuplikan aku dapat dari sebuah blog yang ditulis seorang pekerja politik.
MASA PENJAJAHAN BELANDA
Murid-murid STOVIA mencoba memulai
gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo di tahun 1915. Gerakkannya bukan dalam
kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum memiliki konsep
nasionalisme yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya: Djawa Raya. Dalam hal ini
jelas bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme ataupun keadilan
sosial sudah bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun pada konteks
jamannya semua idealisme konsep-konsep tersebut belum bisa dirumuskan dan
terwujud sebagai artikulator problem-problem konkrit masyarakat pada waktu itu
; Kolonialisme, kapitalisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan yang lebih parah:
belum bisa menggerakkan massanya sesuai dengan artikulasinya tersebut.
Sejarawan-sejarawan yang idealis sering
mengatakan, bahwa pada tahap awal gerakan elemen-elemen pelopor, pertama-tama
harus bisa merumuskan problem-problem masyarakat dan kemudian menyampaikannya
dalam bentuk agitasi dan propaganda. Namun, realita sejarah menghidangkan
kenyataan yang lain: kondisi subyektif gerakan belum bisa bersatu dengan
kondisi obyektif di luar gerakan. Keduanya belum solid, keduanya belum bisa
menyatu melalui tahap-tahap panjang, rumit dan mengesalkan.
Dan juga ada keharusan yang katanya logis
dan absah, yang dipaksakan oleh sejarawan-sejarawan idealis, yakni keharusan
yang mengatakan: karena ide-ide nasionalisme, liberal, komunisme,
sosial-demokrat, islam dan lain-lainnya sudah masuk ke tanah jajahan Hindia
Belanda, seharusnya kaum intelaktual membentuk diri menjadi pelopor yang mengartikulasi
problem-problem masyarakat serta rakyatnya dan kemudian menggerakkan massanya.
Persoalannya bukan saja terletak pada keinginan subyektif dan normatif dari
kaum intelektual; persoalannya juga terletak pada tingkat kesadaran (level of
consciesness) kaum intelektual itu sendiri (sebagai kondisi subyektif), tingkat
kesadaran rakyatnya dan atmosfir ekonomi-politik pendorong tingkat kesadaran
tersebut (sebagai kondisi obyektif). Jadi, logika sejarawan idealis tidaklah
berpijak pada realitas sejarah, logika yang tidak historis.
Atau bentuk dan watak organisasi seperti
Trikoro Dharmo hanya merupakan taktik kaum pelopor dalam menghadapi kondisi
pada saat itu? Tidak, tidak didapatkan data ilegal, baik tertulis (dokumen)
maupun lisan, yang menyatakan hal tersebut.
Organisasi-organisasi yang tumbuh
kemudian adalah juga organisasi kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong
Minahasa, Bond Ambon) dan tidak ada upaya berkonsolidasi. Hanya atas bantuan
Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) maka organisasi-organisasi
tersebut dilebur menjadi Indonesia Moeda (IM) tahun 1930. Dalam tindakan
konsolidasi, pelajar-pelajar mengambil inisiatif, juga dalam hal merubah konsep
pelajarnya menjadi pemuda, yang secara teoretis lebih memungkinkan mewadahi
massa yang lebih luas.
Perjuangan IM pada umumnya lunak, kecuali
cabang Surabaya, Radikalisasi IM Surabaya berhasil memprovokasi kepala
sekolah-kepala sekolah menengah untuk mengeluarkan Schoolverbood (pemecatan
bagi pelajar-pelajar sekolah menengah yang memasuki IM). Dengan adanya
peraturan tersebut dan intel-intel bangsa sendiri yang menyusup ke IM untuk
mengadakan provokasi, maka IM menjadi lemah: menjadi organisasi dekaden/bejad,
tempat foya-foya.
Hanya anggota IM yang sadarlah yang bisa
keluar dari IM dan kemudian membentuk Soeloeh Pemoeda Indonesia (SPI) dan
Pergerakan Pemoeda Revolusioner (PERPIRI). Namun, dan memang wajar dalam
masyarakat kolonial, dikeluarkanlah Vargader-verbod (pembubaran dan larangan
berkumpul) bagi SPI dan PERPIRI. Tapi anggota-anggota yang konsisten melakukan
gerakan bawah tanah. Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi
pemuda dan pelajar untuk memiliki penjelasan yang lebih jernih tentang
nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Moeda dan melepaskan diri
dari organisasi sektarian pemuda dan mahasiswa guna lebih mempertajam orientasi
anti kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit:
kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintah kolonial yang semakin
represif, setelah pemerintah kolonial di uji oleh pemogokan-pemogokan buruh di
awal tahun 1920-an dan pemberontakan PKI tahun 1926. Gerakan pemogokan buruh
dan pemberontakan PKI tersebut merupakan suatu pengorbanan yang berharga
positif; memberikan atmosfir pendidikan politik bagi kelanjutan pergerakan
nasional. Banyak sejarawan Indonesia masih menolak menuliskan tinta emasnya
bagi sejarah Indonesia kurun itu.
Didalam kondisi kelumpuhan pergerakan
nasional seperti ini, muncullah alternatif kelompok study (studieclub) yang
politis dilihat dari orentasi dan tindakan politiknya, terbentuknya Indonesia
Studieclub (IS) dan Algemeene Studieclub (AS). Makna politis dari kelompok
study pada waktu itu adalah:
1) Mempelajari kondisi dan problem-problem
konkrit yang berhubungan dengan negeri dan rakyat, kemudian mengadakan
ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang berhubungan dengan
buruh; upah, kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan rakyat; hal kondisi
organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya pemilihan anggota
Gementeraad (dewan Kota); Arti pergerakan, pendidikan nasional, parlemen,
statistik perdagangan, gerakaan persatuan, kooperasi dan non-kooperasi,
kerjasama diantara organisasi-organisasi politik dal lain-lain,
2) Membentuk komite dan pengumpulan bahan
mengenai masyarakat koloni terutama Hindia Belanda, kemudian menyebarkannya
dalam bentuk brosur-brosur atau surat kabar atau majalah, seperti Soeloeh
Ra'jat Indonesia dan Soeleoeh Indonesia,
3) Mencari alternatif bagi perbaikan
terhadap problem-problem konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan
nyata,
4) forumnya ditujukan pada sasaran
masyarakat luas, pertemuannya terbuka di gedung-gedung pertemuan umum yang di
hadiri oleh kalangan pergerakan dan masyarakat luas,
5) Mendukung pemogokan buruh bengkel dan
elektrik di Surabaya bulan nopember 1925. Namun tidak dapat di pungkiri ada
juga kelompok studi yang apolitis dan hanya berkubang di masalah-masalah
teoritis, yaitu apa yang dinamakan Debating Club (Sukarno keluar dari
organisasi ini dan masuk ke Algemeene Studieclub)
Dalam merespons perubahan politik yang
lebih liberal akibat penggantian gubernur Jendral de Fock oleh de Graeff
(pendukung van Limburg Stirum, liberalis), dan dalam kondisi ekonomi Belanda
serta Hindia Belanda yang berada pada posisi merambat ke arah ekses penawaran
(posisi demikian merupakan masa positif sebelum mencapai puncak konjunktur
ekses penawaran dalam masa depresi kapitalisme pada tahun 1929-1930 maka IS dan
AS berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan Nasional
Indonesia (PNI). Kelompok studi berhasil bertranformasi menjadi partai, ia
merupakan cikal-bakal partai yang banyak menyumbang bagi tercapainya
"kemerdekaan" Republik Indonesia. Tanda kutip pada kata kemerdekaan
bermakna: Setelah Indonesia merdeka partai-partai tersebut,ternyata tidak
berhasil memenangkan pertempuran untuk merubah hubungan sosial rakyat Indonesia
menjadi lebih adil, unsur-unsur reaksioner juga turut dihidupkan dan menjadi
kuat oleh momen sejarah Indonesia.
Namun demikian Studieclub telah
memperlihatkan keunggulannya ketimbang kelompok studi tahun 1980-an. Kelompok
studi tahun 80-an lebih menyerupai debating club dalam tindakannya, apolitis:
1) berkubang di masalah-masalah teoritis,
2) tidak bisa berdialektika sebagai unsur
subyektif yang merespons dan menstimulasi kondisi obyektif dalam kondisi
ekonomi-politik Orde Baru, ia bukannya bertransformasi menjadi politis tapi
malahan membusuk. Lebih gegabah lagi bila kelompok studi tahun 80-an
disimpulkan menjadi bertransformasi menjadi pelopor, dominan atau bahkan
mengambil peranan kecil sekalipun sebagai koordinator dalam gerakan mahasiswa
tahun 80-an. Kesimpulan ini bukan berarti kami tidak menghargai nilai lebih
diskusi. Jangan samakan antara tindakan diskusi dengan tindakan kelompok studi
secara keseluruhan.
Analisa terhadap sejarah studieclub jelas
memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi-politik pada saat itu
politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal
karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda bisa direspon dan
distimulasi oleh kondisi obyektif Studieclub yang bertransformasi menjadi
partai. Jadi, sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa
mandulnya gerakan mahasiswa dari basis kampus pada masa Orde Baru dan larinya
mahasiswa dari basis kampus untuk membentuk kelompok studi adalah akibat oleh
NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif, seolah-olah bila tidak ada
NKK/BKK maka akan semarak dan menjadi kuatlah gerakan mahasiswa. Apakah hal ini
terbukti pada gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an dimana
pada waktu itu belum ada NKK/BKK? Tidak, sejarah membuktikan bahwa kondisi
subyektif gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an tidak bisa
merespons dan menstimulus ekonomi politik Orde Baru pada tahun 60-an dan 70-an.
Perdebatan mengenai kondisi ekonomi-politik Orde Baru tahun 60-an dan 70-an
memerlukan ruang tersendiri. Namun yang jelas, sebagai gejala, gerakan
mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an benar-benar telah dilumpuhkan,
terutama tahun 60-an benar-benar merupakan borok sejarah. Justru dalam skala
tertentu, gerakan mahasiswa tahun 80-an dapat menembus NKK/BKK. Namun akumulasi
dan kulminasi tindakan politik, maka yang lebih dapat di hargai adalah gerakan
mahasiswa masa Orde Baru tahun 70-an. Penghargaan itu tentunya adalah hanya
sebatas bahwa gerakan tersebut telah memberikan atmosfir pendidikan politik dan
tapak-tapak kabur pedoman menuju demokratisasi.
Masa setelah bertransformasinya
Studieclub menjadi PBI dan PNI pada kurun sejarah inilah dapat di tebar pupuk
momentum bagi konsolidasi, penyaringan dan semaraknya wadah-wadah massa pemuda
dan pelajar. Hal ini terbukti dengan di selenggarakannya kongres Pemoeda
Indonesia pada tahun 1928, yang berhasil menggabungkan pergerakan-pergerakan
pemuda yang berorentasi luhur, memprioritaskan terwujudnya cita-cita
nasionalisme, menjunjung harkat nusa bangsa: mengolah tercapainya kemerdekaan.
Nama organisasi gabungan tersebut, dilihat secara semantik saja, sungguh
mengejutkan dan menggembirakan: Pemoesatan Pergerakan Pemoeda Indonesia
(PERPINDO) di pusat dan Pergaboengan Pemoeda (PERDA) di daerah. Dan,
anggota-anggotanya adalah IM, Pemoeda Muhaammadijah, Persatoean Pemoeda Taman
Siswa, Pemoeda Muslimin Indonesia, Persatoean Pemoeda Kristen Djawi, Barisan
Pemoeda GERINDO dan PRRI.
MASA PENJAJAHAN JEPANG
Tentu saja ruang ini tidak cukup tersedia
untuk membahas gerakan mahasiswa pada masa ini, yang cukup menggairahkan untuk
di analisa namun harus memperhitungkan spektrum perdebatan yang cukup luas.
Yang pasti, semua organisasi pemuda yang
ada di bubarkan, dan pemuda di masukkan kedalam, yang utama Seinendan-Keibondan
(Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA) untuk dididik politik dan
kegiatan-kegiatan menunjang fasisme: latihan militer untuk membela kepentingan
ekonomi-politik Asia Timur Raya.
Jalan keluar bagi gerakan pemuda adalah:
gerakan bawah tanah (Underground-legal). Ramainya pamflet-pamflet gelap, dan
rapat-rapat gelap yang mengakibatkan adanya penangkapan-penangkapan oleh
penguasa fasis Dai Nippon Jepang. Momentum gerakan bawah tanah, yang juga
"katanya" dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno, merupakan
jalan keluar yang lebih mencekam dan belum memassa, tingkat kesadaran massa
untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Dan
harus dilacak mengapa Fron Anti Fasis tidak menampakkan sosok yang jelas.
MASA KEMERDEKAAN
1945-1950
Suatu momentum yang tidak disia-siakan
oleh gerakan pemuda dan pelajar: selain mereka melucuti senjata Jepang, juga
memunculkan kembali organisasi-organisasi mereka, misalnya Angkatan Pemoeda
Indonesia (API), Pemuda Repoeblik Indonesia (PRI), Gerakan Pemoeda Repoeblik
Indonesia (GERPRI), Ikatan peladjar Indonesia (IPI), Pemoeda Poetri Indonesia
(PPI dan lain-lainnya.
Pada saat belum ada pemuda dan pelajar
yang berbentuk federasi, diselenggarakanlah kongres Pemoeda Seloeroeh Indonesia
I (1945) dan ke-II (1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya
karena:
1) Dapat melahirkan organisasi gabungan
Pemoeda Sosialis Indonesia (PESINDO) yang merupakan hasil peleburan API, PRI,
GERPRI, AMRI dan sebagainya,
2) Terbentuknya badan Kongres ke-I berada
dalam suasana semangat perjuangan bersenjata (pemuda turut berpartisipasi dalam
pertempuran Nopember di Surabaya),
3) Kongres ke-II menghasilkan keputusan
antara lain: Berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar, membentuk dan memperkuat
laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pimpinan
yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.
Organisasi-organisasi seperti
Perhimpoenan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpoenan Mahasiswa Katholik Jogja
(PMJ), Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpoenan Mahasiswa Islam (HMI),
Perhimpoenan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpoenan Mahasiswa Kristen
Indonesia (PMKRI) dan Persatoean Peladjar Pergoeroean Tinggie Malang (PPPM)
setuju membentuk Perserikatan Perhimpoenan-perhimpoenan Mahasiswa Indonesia
(PPMI) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang khusus berada di
daerah pendudukan Belanda.
Menjadi mahasiswa bukanlah sebuah tujuan,
tapi sebagai alat. Yakni alat penghubung antar rakyat dan pemerintah.
Mahasiswa, yang masih pure belum membela kepentingan siapa pun, diharapkan bisa
meluruskan komunikasi antar pemerintah dan rakyat. Jangan sampai demokrasi jadi
mandek di Indonesia. Nah, dari sini, terkenal istilah 'parlemen jalanan'. Pada
tau parlemen jalanan itu apa? Parlemen jalanan adalah istilah yang dipakai
untuk menyebut demonstran.
Parlemen jalanan mewakili diri sendiri dan
semua orang yang merasa aspirasinya tidak sampai di pemerintahan; karenanya
aspirasi itu disampaikan sendiri bersama demonstran yang lain. Rata-rata
pelopor parlemen jalanan adalah mahasiswa atau angkatan muda. Angkatan muda
yang mempunyai idealisme yang tinggi, penuh semangat, berjiwa nasionalis dan
selaau mengutamakan kepentingan masyarakat banyak. Atribut yang dipakai oleh
anggota parlemen jalnan itu sangat bervariasi dan senjata utama mereka adalah
orasi, spanduk dan ikat kepala serta poster dan kadang-kadang ban yang biasa
dibakar ketika aksi mereka berlangsung. Perjuangan kaum parlemen jlanan itu
sangat militan, sehingga tak heran di sana terjadi pertumpahan darah dan ada
korban nyawa. Ya, memang demonstrasi di jalan atau di gedung pemerintah
merupakan gaya khas parlemen jalanan dalam mengartikulasikan pikiran dan suara
hati rakyat. Namun, dalam konteks ini kita tak akan merasa etis jika
berusaha menggeneralisir demonstrasi adalah satu-satunya cara bagi parlemen
jalanan dalam menyuarakan opini karena nyatanya ada alternatif lain yang
terkadang mereka pakai dalam kondisi-kondisi tertentu. Parlemen jalanan harus
menjalankan perannya secara massif, pengawasan ketat terhadap parlemen sistem,
mempublikasikan kepada masyarakat semua kebobrokan anggota parlemen merupakan
rutinitas harian bagi parlemen jalanan disamping itu pendidikan politik
terhadap masyarakat harus menjadi prioritas karena sistem demokrasi kita sering
terperosok ke tempat yang salah gara-gara orang yang melakukan pendidikan
politik adalah orang yang tidak melek politik (baca: para caleg yang tidak
paham politik nilai) dibutuhkan kelompok manusia yang melek politik serta
punya konsistensi tinggi dalam mengusung politik nilai dan salah satu
kelompok tersebut adalah parlemen jalanan.
Mahasiswa sering dikait-kaitkan dengan sebutan agent of change. “Agent of change (Agen Perubahan)” ini adalah
sebuah kata yang sering menjadi retorika kebanggaan bagi para mahasiswa.
Mahasiswa saat ini merasa bangga mereka disebut sebagai agent
of change, namun pada hakekatnya mereka tidak mampu melakukan
sebuah perubahan bahkan yang paling dasarpun dari agent
of change yang
berangkat dari sebuah kegelisahan, keresahan, ketidakpuasan sudah tidak lagi
melekat dalam dirinya.
Sebuah
pertanyaan mendasar adalah apakah benar mahasiswa saat ini masih layak
menyandang “the agent of change”?
Apakah benar mahasiswa saat ini masih mampu melihat dan peka terhadap
permasalahan bangsa saat ini ataupun peka terhadap permasalahan yang ada di
lingkungan sekitarnya? Apakah mahasiswa saat ini masih gelisah, resah, tidak
puas dan bahkan memberontak melihat ketimpangan yang seringkali terjadi
yang pada akhirnya berimbas kepada masyarakat kecil? Atau malah mahasiswa tidak
lagi memiliki rasa gelisah, resah, tidak puas dan bahkan tidak ada lagi rasa
pemberontakan dalam dirinya untuk melawan ketimpangan sosial atau malah
mahasiswa sudah menjadi makhluk buas yang individualis yang hanya mampu
mengurusi dirinya sendiri. Ini adalah sebuah renungan bagi kita sekaligus
tantangan untuk merefleksikan kembali semangat agent
of change. Semangat dasar dari agent of changeterbangun atas
kegelisahan, keresahan, ketidapuasan dan bahkan pemberontakan yang terlahir
dari sebuah fenomena sosial.
“Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”
Pasti pernah dengar kata-kata itu kan?
Yap, itu adalah kata-kata Bung Karno. Tersirat betul bahwa ia percaya bahwa
pemudalah yang mampu merubah nasib suatu kaum bangsa. Oleh karena itu, kita,
para mahasiswa, sebagai kaum pemuda, haruslah ingat bahwa kita adalah bagian dari
pembangunan. Jangan sampai kita melupakan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar