Jumat, 16 November 2012

akhirnyaaa : jaminan sosial untuk Indonesia!

Halo, sudah lama ya sejak postingan terakhir. Baiklaah, kali ini aku akan membahas isu kesehatan, yakni SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Tapi, apa sih maksudnya SJSN itu? SJSN adalah wujud dari sebuah cita-cita mulia, yakni program pemerintah berupa  jaminan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

SJSN ini diselenggarakan berdasarkan pada sembilan prinsip (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 4), yakni :

1. Kegotong-royongan
maksudnya adalah prinsip kebersamaan peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai tingkat gaji, upah atau tingkat penghasilannya.

2. Nirlaba
maksudnya adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya dari seluruh peserta.

3. Keterbukaan
adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar dan jelas bagi setiap peserta

4. Kehati-hatian
adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib.

5. Akuntabilitas
adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan

6. Probabilitas
adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

7. Kepestaan Bersifat Wajib
adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.

8. Dana Amanat
adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana itipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentngan peserta jaminan sosial

9. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta
adalah hasil berupa deviden dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial

Nah, kalau jenis program jaminan sosial ini berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 18 meliputi :

1. Jaminan Kesehatan
bertujuan untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bai setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera (Naskah Akademi UU SJSN)

2. Jaminan Kecelakaan Kerja
bertujuan memberikan kepastian jaminan pelayanan dan santunan apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan saat menuju, menunaikan dan selesai menunaikan tugas pekerjaan dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Naskah Akademi UU SJSN)

3. Jaminan Hari Tua
program jangka panjang yang diberikan secara sekaligus sebelum peserta memasuki masa pensiun, bisa diterimakan kepada janda/duda, anak atau ahli waris peserta yang sah apabila peserta meninggal dunia (Naskah Akademik UU SJSN)

4. Jaminan Pensiun
pembayaran berkala jangka panjang sebagai substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan karena peserta mencapai usia tua (pensiun), mengalami cacat total permanen, atau meninggal dunia (Naskah Akademik UU SJSN)

5. Jaminan Kematian
santunan kematian adalah program jangka pendek sebagai pelengkap program jangka hari tua, dibiyai dari iuran dan hasil pengelolaan dana santunan kematian, dan manfaat diberikan kepada keluarga atau ahli waris yang sah pada saat peserta meninggal dunia (Nakah Akademik UU SJSN)

Siapa yang mengatur SJSN? Ada dua lembaga nih, yakni DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasioal) dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)

Bagus kan? Ini seperti seluruh rakyat Indonesia kelak akan memiliki semacam asuransi. Asuransi adalah hal yang penting karena berperan sebagai 'jaring pengaman' dalam menunjang kehidupan. 
BPJS Kesehatan akan mulai beroperasi dengan melayani Jaminan Kesehatan pada 1 Januari 2014 untuk semuaa penduduk Indonesia. Khusus pekerja, pembayaran iuran dilakukan secara mandiri, sedangkan masyarakat miskin dan tak mampu dibayar oleh pemerintah.
Nah, tapi sebenarnya kenapa sih harus tahun 2014 baru direalisasikan SJSN Kesehatan itu? Kenapa ga tahun 2012, sekarang, aja?? Ternyata, permasalahannya adalah  muncul wacana bahwa pekerja dan pengusaha harus berbagi tanggung jawab untuk jaminan kesehatan, dalam pengertian pekerja juga diminta turut membayar iuran.
Bukan itu saja. Kan dikatakan " bagi masyarakat miskin dan tak mampu akan dibayar oleh pemerintah" Nah, standar "miskin dan tak mampu-nya" itu bagaimana? Kan standar miskin menurut orang-orang berbeda-beda.
Dan juga bagaimana dengan tuna wisma atau gelandangan yang tak punya identitas kependudukan. Padahal merekalah yang paling sekarat membutuhkan jaminan kesehatan. Seperti yang kita ketahui, pelayanan kesehatan di tempat terpencil masih sangat kurang. Bagaimana untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin mengakses pelayanan kesehatan?
Jangan lupa, rakyat Indonesia yang kebanyakan masih belum peduli akan 'investasi kesehatan' harus diubah pola pikirnya. Rakyat Indonesia lebih peduli pada 'hari ini', 'hari esok' ya besok saja dipikirkan. Padahal itu adalah pola pikir yang salah sekali. Sedia payung sebelum hujan bung. Kan kita tak tahu apa yang akan terjadi besok. Hanya Tuhan yang tahu. Oleh karena itu, mari membuat persiapan. 
Ide SJSN ini sudah sangaaat bagus sekali. Aku 100% setuju. Hanya saja aturannya belum mendetail dan menyeluruh. Beberapa aturan juga masih memberatkan masyarakat (adalah jumlah iuran yang harus dibayar). Dan juga kurang sekali sosialisasi mengenai rencana SJSN ini (aku saja awalnya belum tahu apa itu SJSN hehe *maklum ga ada tv*)
Perlu ada kajian ulang dan lebiih mendetail. Jangan lupa untuk kelak mengelola dana amanat dari rakyat sebaik-baiknya, jangan sampai ada keluhan 'tak memuaskan' atau ada yang terlantar padahal sudah terdaftar di SJSN. Ayo pemerintah! Majukan lagi usahamu! Tunjukkan bahwa kalian peduli dengan kami, rakyat Indonesia yang rindu akan kepedulianmu!

Rabu, 24 Oktober 2012






ini dulu gambarku pas kelas 12... iseng-iseng waktu sebelum pengumuman SNMPTN undangan. Agak kacau juga sih pas buatnya, karena pikiran terus ke urusan kuliah haha. Dulu gambar ini buat suatu perlombaan... tapi gagal haha gapapa deh yang penting udah berusaha :D


Mahasiswa bagi Indonesia









Apa sih sebenarnya mahasiswa itu? Apakah hanya seorang pelajar yang menimba ilmu di sebuah universitas? Apakah lebih dari itu? Apakah mahasiswa adalah seorang yang memperjuangkan nasib rakyat? Nah, pertanyaan-pertanyaan itu semakin menggila di pikiranku semenjak aku baru jadi mahasiswa hehe. Jujur, untuk menjawab pertanyaan ini, aku ampe minta bantuan ke mbah google, om wiki dan mamaku hehe :p

Hmm, berdasarkan jawaban om wiki, mahasiswa/i adalah pelajar panggilan orang yang menjalani pendidikan tinggi di universitas atau perguruan tinggi. Sepanjang sejarah, mahasiswa/i telah mengambil peran penting. Pasti tahu kan pas masa-masanya pemerintahan Soekarno dan Soeharto? Eiitsss, tapi sebenarnya peran mahasiswa dalam membangun bangsa Indonesia telah dimulai jauuh sebelum itu lohh hehe. Wanna know? Berikut cuplikan aku dapat dari sebuah blog yang ditulis seorang pekerja politik.



MASA PENJAJAHAN BELANDA

Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo di tahun 1915. Gerakkannya bukan dalam kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya: Djawa Raya. Dalam hal ini jelas bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme ataupun keadilan sosial sudah bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun pada konteks jamannya semua idealisme konsep-konsep tersebut belum bisa dirumuskan dan terwujud sebagai artikulator problem-problem konkrit masyarakat pada waktu itu ; Kolonialisme, kapitalisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan yang lebih parah: belum bisa menggerakkan massanya sesuai dengan artikulasinya tersebut.
Sejarawan-sejarawan yang idealis sering mengatakan, bahwa pada tahap awal gerakan elemen-elemen pelopor, pertama-tama harus bisa merumuskan problem-problem masyarakat dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk agitasi dan propaganda. Namun, realita sejarah menghidangkan kenyataan yang lain: kondisi subyektif gerakan belum bisa bersatu dengan kondisi obyektif di luar gerakan. Keduanya belum solid, keduanya belum bisa menyatu melalui tahap-tahap panjang, rumit dan mengesalkan.
Dan juga ada keharusan yang katanya logis dan absah, yang dipaksakan oleh sejarawan-sejarawan idealis, yakni keharusan yang mengatakan: karena ide-ide nasionalisme, liberal, komunisme, sosial-demokrat, islam dan lain-lainnya sudah masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, seharusnya kaum intelaktual membentuk diri menjadi pelopor yang mengartikulasi problem-problem masyarakat serta rakyatnya dan kemudian menggerakkan massanya. Persoalannya bukan saja terletak pada keinginan subyektif dan normatif dari kaum intelektual; persoalannya juga terletak pada tingkat kesadaran (level of consciesness) kaum intelektual itu sendiri (sebagai kondisi subyektif), tingkat kesadaran rakyatnya dan atmosfir ekonomi-politik pendorong tingkat kesadaran tersebut (sebagai kondisi obyektif). Jadi, logika sejarawan idealis tidaklah berpijak pada realitas sejarah, logika yang tidak historis.
Atau bentuk dan watak organisasi seperti Trikoro Dharmo hanya merupakan taktik kaum pelopor dalam menghadapi kondisi pada saat itu? Tidak, tidak didapatkan data ilegal, baik tertulis (dokumen) maupun lisan, yang menyatakan hal tersebut.
Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Bond Ambon) dan tidak ada upaya berkonsolidasi. Hanya atas bantuan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) maka organisasi-organisasi tersebut dilebur menjadi Indonesia Moeda (IM) tahun 1930. Dalam tindakan konsolidasi, pelajar-pelajar mengambil inisiatif, juga dalam hal merubah konsep pelajarnya menjadi pemuda, yang secara teoretis lebih memungkinkan mewadahi massa yang lebih luas.
Perjuangan IM pada umumnya lunak, kecuali cabang Surabaya, Radikalisasi IM Surabaya berhasil memprovokasi kepala sekolah-kepala sekolah menengah untuk mengeluarkan Schoolverbood (pemecatan bagi pelajar-pelajar sekolah menengah yang memasuki IM). Dengan adanya peraturan tersebut dan intel-intel bangsa sendiri yang menyusup ke IM untuk mengadakan provokasi, maka IM menjadi lemah: menjadi organisasi dekaden/bejad, tempat foya-foya.
Hanya anggota IM yang sadarlah yang bisa keluar dari IM dan kemudian membentuk Soeloeh Pemoeda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemoeda Revolusioner (PERPIRI). Namun, dan memang wajar dalam masyarakat kolonial, dikeluarkanlah Vargader-verbod (pembubaran dan larangan berkumpul) bagi SPI dan PERPIRI. Tapi anggota-anggota yang konsisten melakukan gerakan bawah tanah. Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memiliki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Moeda dan melepaskan diri dari organisasi sektarian pemuda dan mahasiswa guna lebih mempertajam orientasi anti kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintah kolonial yang semakin represif, setelah pemerintah kolonial di uji oleh pemogokan-pemogokan buruh di awal tahun 1920-an dan pemberontakan PKI tahun 1926. Gerakan pemogokan buruh dan pemberontakan PKI tersebut merupakan suatu pengorbanan yang berharga positif; memberikan atmosfir pendidikan politik bagi kelanjutan pergerakan nasional. Banyak sejarawan Indonesia masih menolak menuliskan tinta emasnya bagi sejarah Indonesia kurun itu.
Didalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti ini, muncullah alternatif kelompok study (studieclub) yang politis dilihat dari orentasi dan tindakan politiknya, terbentuknya Indonesia Studieclub (IS) dan Algemeene Studieclub (AS). Makna politis dari kelompok study pada waktu itu adalah:
1) Mempelajari kondisi dan problem-problem konkrit yang berhubungan dengan negeri dan rakyat, kemudian mengadakan ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang berhubungan dengan buruh; upah, kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan rakyat; hal kondisi organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya pemilihan anggota Gementeraad (dewan Kota); Arti pergerakan, pendidikan nasional, parlemen, statistik perdagangan, gerakaan persatuan, kooperasi dan non-kooperasi, kerjasama diantara organisasi-organisasi politik dal lain-lain,
2) Membentuk komite dan pengumpulan bahan mengenai masyarakat koloni terutama Hindia Belanda, kemudian menyebarkannya dalam bentuk brosur-brosur atau surat kabar atau majalah, seperti Soeloeh Ra'jat Indonesia dan Soeleoeh Indonesia,
3) Mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata,
4) forumnya ditujukan pada sasaran masyarakat luas, pertemuannya terbuka di gedung-gedung pertemuan umum yang di hadiri oleh kalangan pergerakan dan masyarakat luas,
5) Mendukung pemogokan buruh bengkel dan elektrik di Surabaya bulan nopember 1925. Namun tidak dapat di pungkiri ada juga kelompok studi yang apolitis dan hanya berkubang di masalah-masalah teoritis, yaitu apa yang dinamakan Debating Club (Sukarno keluar dari organisasi ini dan masuk ke Algemeene Studieclub)
Dalam merespons perubahan politik yang lebih liberal akibat penggantian gubernur Jendral de Fock oleh de Graeff (pendukung van Limburg Stirum, liberalis), dan dalam kondisi ekonomi Belanda serta Hindia Belanda yang berada pada posisi merambat ke arah ekses penawaran (posisi demikian merupakan masa positif sebelum mencapai puncak konjunktur ekses penawaran dalam masa depresi kapitalisme pada tahun 1929-1930 maka IS dan AS berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Kelompok studi berhasil bertranformasi menjadi partai, ia merupakan cikal-bakal partai yang banyak menyumbang bagi tercapainya "kemerdekaan" Republik Indonesia. Tanda kutip pada kata kemerdekaan bermakna: Setelah Indonesia merdeka partai-partai tersebut,ternyata tidak berhasil memenangkan pertempuran untuk merubah hubungan sosial rakyat Indonesia menjadi lebih adil, unsur-unsur reaksioner juga turut dihidupkan dan menjadi kuat oleh momen sejarah Indonesia.
Namun demikian Studieclub telah memperlihatkan keunggulannya ketimbang kelompok studi tahun 1980-an. Kelompok studi tahun 80-an lebih menyerupai debating club dalam tindakannya, apolitis:
1) berkubang di masalah-masalah teoritis,
2) tidak bisa berdialektika sebagai unsur subyektif yang merespons dan menstimulasi kondisi obyektif dalam kondisi ekonomi-politik Orde Baru, ia bukannya bertransformasi menjadi politis tapi malahan membusuk. Lebih gegabah lagi bila kelompok studi tahun 80-an disimpulkan menjadi bertransformasi menjadi pelopor, dominan atau bahkan mengambil peranan kecil sekalipun sebagai koordinator dalam gerakan mahasiswa tahun 80-an. Kesimpulan ini bukan berarti kami tidak menghargai nilai lebih diskusi. Jangan samakan antara tindakan diskusi dengan tindakan kelompok studi secara keseluruhan.
Analisa terhadap sejarah studieclub jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi-politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda bisa direspon dan distimulasi oleh kondisi obyektif Studieclub yang bertransformasi menjadi partai. Jadi, sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa mandulnya gerakan mahasiswa dari basis kampus pada masa Orde Baru dan larinya mahasiswa dari basis kampus untuk membentuk kelompok studi adalah akibat oleh NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif, seolah-olah bila tidak ada NKK/BKK maka akan semarak dan menjadi kuatlah gerakan mahasiswa. Apakah hal ini terbukti pada gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an dimana pada waktu itu belum ada NKK/BKK? Tidak, sejarah membuktikan bahwa kondisi subyektif gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an tidak bisa merespons dan menstimulus ekonomi politik Orde Baru pada tahun 60-an dan 70-an. Perdebatan mengenai kondisi ekonomi-politik Orde Baru tahun 60-an dan 70-an memerlukan ruang tersendiri. Namun yang jelas, sebagai gejala, gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an benar-benar telah dilumpuhkan, terutama tahun 60-an benar-benar merupakan borok sejarah. Justru dalam skala tertentu, gerakan mahasiswa tahun 80-an dapat menembus NKK/BKK. Namun akumulasi dan kulminasi tindakan politik, maka yang lebih dapat di hargai adalah gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 70-an. Penghargaan itu tentunya adalah hanya sebatas bahwa gerakan tersebut telah memberikan atmosfir pendidikan politik dan tapak-tapak kabur pedoman menuju demokratisasi.
Masa setelah bertransformasinya Studieclub menjadi PBI dan PNI pada kurun sejarah inilah dapat di tebar pupuk momentum bagi konsolidasi, penyaringan dan semaraknya wadah-wadah massa pemuda dan pelajar. Hal ini terbukti dengan di selenggarakannya kongres Pemoeda Indonesia pada tahun 1928, yang berhasil menggabungkan pergerakan-pergerakan pemuda yang berorentasi luhur, memprioritaskan terwujudnya cita-cita nasionalisme, menjunjung harkat nusa bangsa: mengolah tercapainya kemerdekaan. Nama organisasi gabungan tersebut, dilihat secara semantik saja, sungguh mengejutkan dan menggembirakan: Pemoesatan Pergerakan Pemoeda Indonesia (PERPINDO) di pusat dan Pergaboengan Pemoeda (PERDA) di daerah. Dan, anggota-anggotanya adalah IM, Pemoeda Muhaammadijah, Persatoean Pemoeda Taman Siswa, Pemoeda Muslimin Indonesia, Persatoean Pemoeda Kristen Djawi, Barisan Pemoeda GERINDO dan PRRI.

MASA PENJAJAHAN JEPANG

Tentu saja ruang ini tidak cukup tersedia untuk membahas gerakan mahasiswa pada masa ini, yang cukup menggairahkan untuk di analisa namun harus memperhitungkan spektrum perdebatan yang cukup luas.
Yang pasti, semua organisasi pemuda yang ada di bubarkan, dan pemuda di masukkan kedalam, yang utama Seinendan-Keibondan (Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA) untuk dididik politik dan kegiatan-kegiatan menunjang fasisme: latihan militer untuk membela kepentingan ekonomi-politik Asia Timur Raya.
Jalan keluar bagi gerakan pemuda adalah: gerakan bawah tanah (Underground-legal). Ramainya pamflet-pamflet gelap, dan rapat-rapat gelap yang mengakibatkan adanya penangkapan-penangkapan oleh penguasa fasis Dai Nippon Jepang. Momentum gerakan bawah tanah, yang juga "katanya" dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno, merupakan jalan keluar yang lebih mencekam dan belum memassa, tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Dan harus dilacak mengapa Fron Anti Fasis tidak menampakkan sosok yang jelas.


MASA KEMERDEKAAN
1945-1950

Suatu momentum yang tidak disia-siakan oleh gerakan pemuda dan pelajar: selain mereka melucuti senjata Jepang, juga memunculkan kembali organisasi-organisasi mereka, misalnya Angkatan Pemoeda Indonesia (API), Pemuda Repoeblik Indonesia (PRI), Gerakan Pemoeda Repoeblik Indonesia (GERPRI), Ikatan peladjar Indonesia (IPI), Pemoeda Poetri Indonesia (PPI dan lain-lainnya.
Pada saat belum ada pemuda dan pelajar yang berbentuk federasi, diselenggarakanlah kongres Pemoeda Seloeroeh Indonesia I (1945) dan ke-II (1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya karena:
1) Dapat melahirkan organisasi gabungan Pemoeda Sosialis Indonesia (PESINDO) yang merupakan hasil peleburan API, PRI, GERPRI, AMRI dan sebagainya,
2) Terbentuknya badan Kongres ke-I berada dalam suasana semangat perjuangan bersenjata (pemuda turut berpartisipasi dalam pertempuran Nopember di Surabaya),
3) Kongres ke-II menghasilkan keputusan antara lain: Berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pimpinan yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.
Organisasi-organisasi seperti Perhimpoenan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpoenan Mahasiswa Katholik Jogja (PMJ), Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpoenan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpoenan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpoenan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI) dan Persatoean Peladjar Pergoeroean Tinggie Malang (PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpoenan-perhimpoenan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang khusus berada di daerah pendudukan Belanda.

Menjadi mahasiswa bukanlah sebuah tujuan, tapi sebagai alat. Yakni alat penghubung antar rakyat dan pemerintah. Mahasiswa, yang masih pure belum membela kepentingan siapa pun, diharapkan bisa meluruskan komunikasi antar pemerintah dan rakyat. Jangan sampai demokrasi jadi mandek di Indonesia. Nah, dari sini, terkenal istilah 'parlemen jalanan'. Pada tau parlemen jalanan itu apa? Parlemen jalanan adalah istilah yang dipakai untuk menyebut demonstran.

Menurut standar umum,  parlemen sering disimbolkan sebagai sebuah lembaga yang diisi oleh banyak manusia dari berbagai golongan yang berfungsi sebagai badan pengawas pemerintah oleh sebab itu kritik dari anggota parlemen kepada pemerintah merupakan sebuah pemandangan lumrah dalam sistem demokrasi, dalam tataran ini peranan parlemen penguasa (menurut bahasa penulis) masih bisa disejajarkan dengan parlemen jalanan karena kritik terhadap pemerintah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi mereka malah dari segi ketajaman dan keluasan kritik. Kritik perlemen jalanan terkadang berada satu tingkat diatas parlemen legal sebab mereka tidak hanya mengkritisi penguasa tetapi seluruh stake holder sistem termasuk parlemen legal.
 Parlemen jalanan mewakili diri sendiri dan semua orang yang merasa aspirasinya tidak sampai di pemerintahan; karenanya aspirasi itu disampaikan sendiri bersama demonstran yang lain. Rata-rata pelopor parlemen jalanan adalah mahasiswa atau angkatan muda. Angkatan muda yang mempunyai idealisme yang tinggi, penuh semangat, berjiwa nasionalis dan selaau mengutamakan kepentingan masyarakat banyak. Atribut yang dipakai oleh anggota parlemen jalnan itu sangat bervariasi dan senjata utama mereka adalah orasi, spanduk dan ikat kepala serta poster dan kadang-kadang ban yang biasa dibakar ketika aksi mereka berlangsung. Perjuangan kaum parlemen jlanan itu sangat militan, sehingga tak heran di sana terjadi pertumpahan darah dan ada korban nyawa. Ya, memang demonstrasi di jalan atau di gedung pemerintah merupakan gaya khas parlemen jalanan dalam mengartikulasikan pikiran dan suara hati rakyat. Namun,  dalam konteks ini kita tak akan merasa etis jika berusaha menggeneralisir demonstrasi adalah satu-satunya cara bagi parlemen jalanan dalam menyuarakan opini karena nyatanya ada alternatif lain yang terkadang mereka pakai dalam kondisi-kondisi tertentu. Parlemen jalanan harus menjalankan perannya secara massif, pengawasan ketat terhadap parlemen sistem, mempublikasikan kepada masyarakat semua kebobrokan anggota parlemen merupakan rutinitas harian bagi parlemen jalanan disamping itu pendidikan politik terhadap masyarakat harus menjadi prioritas karena sistem demokrasi kita sering terperosok ke tempat yang salah gara-gara orang yang melakukan pendidikan politik adalah orang yang tidak melek politik (baca: para caleg yang tidak paham politik nilai) dibutuhkan kelompok manusia yang melek politik  serta punya konsistensi tinggi dalam  mengusung politik nilai dan salah satu kelompok tersebut adalah parlemen jalanan.

Mahasiswa sering dikait-kaitkan dengan sebutan agent of change. “Agent of change (Agen Perubahan)” ini adalah sebuah kata yang sering menjadi retorika kebanggaan bagi para mahasiswa. Mahasiswa saat ini merasa bangga mereka disebut sebagai agent of change, namun pada hakekatnya mereka tidak mampu melakukan sebuah perubahan bahkan yang paling dasarpun dari agent of change yang berangkat dari sebuah kegelisahan, keresahan, ketidakpuasan sudah tidak lagi melekat dalam dirinya.
Sebuah pertanyaan mendasar adalah apakah benar mahasiswa saat ini masih layak menyandang “the agent of change”? Apakah benar mahasiswa saat ini masih mampu melihat dan peka terhadap permasalahan bangsa saat ini ataupun peka terhadap permasalahan yang ada di lingkungan sekitarnya? Apakah mahasiswa saat ini masih gelisah, resah, tidak puas dan bahkan memberontak melihat ketimpangan yang  seringkali terjadi yang pada akhirnya berimbas kepada masyarakat kecil? Atau malah mahasiswa tidak lagi memiliki rasa gelisah, resah, tidak puas dan bahkan tidak ada lagi rasa pemberontakan dalam dirinya untuk melawan ketimpangan sosial atau malah mahasiswa sudah menjadi makhluk buas yang individualis yang hanya mampu mengurusi dirinya sendiri. Ini adalah sebuah renungan bagi kita sekaligus tantangan untuk merefleksikan kembali semangat agent of change. Semangat dasar dari agent of changeterbangun atas kegelisahan, keresahan, ketidapuasan dan bahkan pemberontakan yang terlahir dari sebuah fenomena sosial.




“Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”


Pasti pernah dengar kata-kata itu kan? Yap, itu adalah kata-kata Bung Karno. Tersirat betul bahwa ia percaya bahwa pemudalah yang mampu merubah nasib suatu kaum bangsa. Oleh karena itu, kita, para mahasiswa, sebagai kaum pemuda, haruslah ingat bahwa kita adalah bagian dari pembangunan. Jangan sampai kita melupakan itu.













Sabtu, 13 Oktober 2012

hujan di sini


Akhirnya, Sabtu kemarin, jam 00.20, turun hujan di Jogja. Dan hujan yang dibumbui dengan hembusan angin yang sejuk itu kurang-lebih mirip di Bogor. Jadinya pagi itu aku kangeeen banget Bogor huhu. Semenjak di Jogja, aku baru nyadar kalau aku kangen hujan. Dulu kalau di Bogor, aku  ngerasa bosen banget ada hujan. Apalagi kalau hujannya badai. Bete deh.

Haaah, how I miss those rainy days that I spent in a little city called Bogor...

PAS SEULEMENT UN ÉTUDIANT UNIVERSITAIRE (Bukan Mahasiswa Biasa)





Kenalkah anda sekalian dengan lambang ini? Ya, ini adalah sebuah lambang dari kampus biru, yakni Universitas Gadjah Mada. Siapa yang tak bangga mengenakan jas dengan lambang UGM yang tersemat di dada kiri? Semua pasti berdecak kagum melihatnya.


Mahasiswa UGM haruslah bersyukur karena sudah diberikan kesempatan untuk bisa berkuliah di salah satu kampus terkemuka di Indonesia ini. Bahkan untuk bisa menjadi mahasiswa pun harus benar-benar disyukuri, karena menurut statistika, hanya 27% anak bangsa yang bisa mengecap pendidikan di bangku universitas. Nah, bagaimana cara mensyukurinya? Tentu mayoritas mahasiswa UGM telah membuktikannya dengan baik.
Berbagai kompetisi di bidang akademik telah dijuarai. Bahkan beberapa penghargaan bergengsi pun sudah diraih. Kurang lebih 130 prestasi (baik nasional maupun internasional) telah dicetak oleh mahasiswa UGM sepanjang tahun 2011. Soal IP? Janganlah dipertanyakan. Coba cek website ugm.ac.id yah hehe, pasti kalian tahu seberapa hebat prestasi akademik para mahasiswa kampus perjuangan ini.


Bagaimana dengan gerakan lain mahasiswa UGM? Apakah ruang lingkupnya hanya sebatas di ranah akademik saja? Tentu tidak.


Setiap tahun UGM menerjunkan 6.000 mahasiswa ke desa-desa dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa UGM pun berkontribusi besar pada masyarakat. Lalu pada tanggal 10 November 2010 yang lalu, UGM memberangkatkan 500 mahasiswa KKN Peduli Bencana. Berdasarkan pengalaman minggu-minggu sebelumnya, pada semua desa yang didampingi relawan UGM, termasuk mahasiswa internasional, tidak ada korban jiwa.

Tiap-tiap fakultas pun memiliki agenda tersendiri untuk membuktikan bahwa mereka peduli pada masyarakat. Sebut saja fakultas farmasi. Fakultas farmasi memiliki simbiosis mutualisme dengan Desa Mitra, yang melibatkan langsung mahasiswa dengan masyarakat Desa Mitra tersebut.

Mahasiswa UGM juga tanggap terhadap kasus di dalam ranah kampusnya sendiri. Saat ada masalah dengan ’ketidakseriusan’nya panitia pemilihan rektor, 50-an mahasiswa UGM yang tergabung dalam kelompok Garpu (Gerakan Mahasiswa Peduli UGM)  langsung melancarkan aksi dengan membawa tiga keranda. Maksudnya adalah sebagai simbol matinya demokrasi yang ada di UGM. 

Oya, untuk mengakomodasi seluruh pergerakan mahasiswanya, UGM tentu punya beberapa lembaga. Keluarga Mahasiswa UGM (KM UGM)  terbagi atas kongres KM UGM, BEM KM UGM, dan SM KM.
tau kan organisasi intra UGM? Yap, namanya adalah BEM KM UGM, yang sudah berdiri dari tahun 1991. BEM KM UGM dipimpin oleh seorang presiden mahasiswa yang memiliki masa jabatan selama 1 tahun. Untuk tahun 2012 ini, presidennya adalah Giovanni Van Empel. Untuk tingkat fakultasnya, ada BEM Farmasi, BEM FEB, BEM FKH, BEM FMIPA, BEM KM FGE dan BEM KM FT. BEM KM UGM bekerja sama dengan BEM fakultas-fakultas tersebut. 
Lalu ada juga senat. Senat mahasiswa UGM (SM KM UGM) adalah lembaga sentral kemahasiswaan yang dibentuk tahun 1990. Lembaga legislatif tingkat universitas ini terdiri dari unsur Partai Mahasiswa dan Independen. Sebelumnya lembaga legislatif di KM UGM terdiri dari DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) KM dan DPF (Dewan Perwakilan Fakultas) KM UGM. Terjadinya dualisme fungsi dan untuk memperjelas fungsi dari lembaga legislatif, maka DPM dan DPF dipersatukan di bawah nama Senat Mahasiswa KM UGM sejak kongres tahun 2012 awal tahun kemarin. 

Ada juga MWA. MWA adalah Majelis  Wali Amanat, organ pembuat keputusan tertinggi di UGM yang mewakili kepentingan Pemerintah Republik Indonesia, kepentingan masyarakat umum, dan kepentingan masyarakat UGM.
Di UGM juga ada pesta demokrasi lho, yaitu pemilihan raya (pemira) untuk memilih presiden mahasiswa, dewan perwakilan mahasiswa dan dewan perwakilan fakultas UGM.











Mau tahu beberapa gerakan BEM yang peduli dengan kampus UGM agar menuju arah yang lebih baik? Berikut cuplikannya hehe


























Mahasiswa UGM juga tanggap dengan keadaan di luar barikade kampusnya. Ketika kasus KPK dengan polri bergaung keras, segera BEM KM UGM mengajak seluruh mahasiswa UGM untuk menunjukkan kepedulian mereka dengan berkumpul di bundaran UGM pada tanggal 6 Oktober 2012 lalu. 









Lalu, kekhawatiran akan perubahan iklim yang sedang marak saat ini, mendorong civitas akademika Fakultas Geografi UGM  menyelenggarakan rangkaian acara simposium internasional pada tanggal 4-7 Mei 2012 lalu. 






Contoh lain, pada tanggal 27 Maret 2012 lalu, di tengah maraknya demontrasi menolak kenaikan harga BBM, BEM KM UGM justru menggelar aksi menolak draf Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT). Ini membuktikan kepedulian tinggi mahasiswa UGM terhadap pendidikan.


Kedengarannya hebat ya mahasiswa UGM itu ? Yah, tapi kita tak tahu sisi lain mahasiswa UGM. Yang pasti, karena UGM adalah salah satu kampus terbaik di Indonesia, aku percaya mahasiswanya pun demikian J


Mayoritas data ini aku peroleh dari Balairung Press hehehe. Tau kan Balairung Press itu apa ? Yap, ini adalah badan penerbitan pers mahasiswa UGM. Coba baca deh… isinya keren. Balairung berani mengungkapkan aspirasinya, sekalipun itu berarti mereka membuka sisi buruk UGM. Yah, kalau tak dibuka, gimana UGM mau jadi universitas terbaik ? Sekali lagi, ini menunjukan kualitas mahasiswa UGM yang tak takut mengkritik demi membela kebenaran dan keadilan hehe


Sebagai mahasiswa baru UGM, aku sadar betul harus berbuat terbaik demi Indonesia. 

 Apalagi ketika acara penutupan PPSMB universitas, Tufik ismail berpesan ini pada seluruh maba UGM : Jangan sampai meniru generasi bobrok saat ini. Itu pesan saya bagi generasi muda,” 
dan kuharap aku bisa memenuhi pesan beliau J







Rabu, 10 Oktober 2012

MAHASISWA dan SOE HOK GIE








Dulu, ketika aku masih kecil, aku selalu merinding mendengar kata ini : Mahasiswa. Maha dan siswa. Begitu prestisius. Seolah-olah menjadi puncak tertinggi dari semuanya. Bahkan dulu aku lebih mengagumi kata mahasiswa dibanding presiden hehe. Bagaimana tidak? Sedikit saja presiden salah mengambil langkah, akan ada berpuluh-puluh demonstran mahasiwa dari Sabang sampai Merauke, meneriakkan kata-kata penuh semangat menentang presiden itu.
Jujur, dulu juga aku selalu sebal melihat mahasiswa yang berdemonstrasi. Apalagi yang cara demonya anarkis. Aku selalu berpikir, kok bukannya belajar, malah sibuk membuat keributan di jalan. Bukankah lebih baik mereka belajar dulu yang benar untuk membela rakyat kelak? Tak usahlah berdemo-demo segala, cuma bikin capek saja. Didengar pun sudah syukur, apalagi direspon. Udah alhamdulillah banget. -Itu adalah isi dari pikiran seorang anak kecil hehe- akhirnya pun kata mahasiswa pun jadi terdengar cukup menjengkelkan bagiku dulu.
Tapi, ketika aku memasuki bangku SMP,  pandanganku tentang mahasiswa pun berubah... ini semua bermula dari menonton Soe Hok Gie. Pasti udah tau Soe Hok Gie kan?
Soe Hok Gie adalah sosok yang benar-benar kritis. Cara pikirnya benar-benar sekarat. Ia begitu peduli dengan keadaan sekitarnya. Ia adalah golongan yang benar-benar peduli dengan rakyat kelas bawah dan tak menyukai pada kaum atas yang tak berkeprimanusiaan. Ia bertindak bukan karena ingin dilirik sebagai mahasiswa 'agent of change', tapi karena ia benar-benar peduli.
Ia berani mengkritik pemerintahan Soekarno lewat tulisan-tulisannya yang tajam. Sekali lagi, bukan karena ia ingin mencari sensasi.
Jaman sekarang, susah rasanya mencari sosok mahasiswa pengganti Soe Hok Gie. Apakah mahasiswa yang bedemonstrasi benar-benar peduli pada rakyat? Atau hanya karena tersulut saja? Apakah mereka mengerti pokok masalah negeri ini? Atau termakan umpan kaum-kaum kiri pmerintahan?

 Ya, sampai seribu abad yang akan datang pun, sulit menemukan pengganti Soe Hok Gie, seorang idealis sejati, yang bertindak sendiri, bukan karena terbawa arus.

. Tapi aku tetap berharap paradigma mahasiswa sekarang berubah.

Seperti kata Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, yang mempersembahkan editorial khusus setelah kematian Soe Hok Gie:

…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.




Dan Wahai Mahasiswa, ingatlah kata-kata Soe Hok Gie:


Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.





Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.


Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.



Berkat Soe Hok Gie, aku sadar bahwa tugas mahasiwa bukan hanya untuk menimba ilmu di sebuah telaga yang bernama 'kampus'. Tapi untuk kritis atas segala perubahan, terutama pada pergejolakan yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Apalagi bila perubahan itu menyangkut soal pergeseran nilai  kebenaran dan keadilan. Namun, ada cara-cara elit bagi kita untuk mengkritik dan menanggapi itu semua. Demonstrasi secara anarkis tanpa pemikiran yang matang bukanlah jawabannya. Sebagai mahasiswa, sudah seharusnya kita berpikir dulu sebelum bertindak.
Seperti Soe Hok Gie, kita bisa saja mengkritik lewat tulisan. Atau dengan kepala dingin berdiskusi bersama pihak yang dituju. Pokoknya, hindari demonstrasi yang anarkis! Jangan ada keributan dan kericuhan yang meresahkan warga! Jangan sampai idealisme membawa kita menjadi sosok yang ingin didengar tapi tidak mendengar sama sekali.



mendadak aku jadi teringat puisi Soe Hok Gie...

Saya mimpi tentang sebuah dunia, Di mana ulama - buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan, Stop semua pembunuhan atas nama apa pun.
Dan para politisi di PBB,Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,Dan lupa akan diplomasi.
Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun, Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan melupakan perang dan kebencian, Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Tuhan - Saya mimpi tentang dunia tadi, Yang tak pernah akan datang.


Sekarang, setelah aku menjadi mahasiswa, aku belum merasa menjadi 'mahasiswa'. Aku pun melihat kebanyakan mahasiswa di Indonesia belum menjadi sosok mahasiswa yang sesungguhnya.
 Memang bagaimana sih sosok mahasiswa sesungguhnya? Aku tak mengatakan Soe Hok Gie sebagai acuannya hehe. Kan jaman dulu dengan sekarang itu berbeda jauh... jadi bentuk-bentuk mahasiswanya pun berbeda-beda, tak mungkin sama. Soe Hok Gie lahir di waktu yang kehidupannya keras, yang penuh perjuangan. Sebuah masa yang menuntut mahasiswa untuk tampil berani membela rakyat yang tertindas.

Tapi tetap saja, Indonesia akan selalu mebutuhkan mahasiswa yang tak takut untuk membela kebenaran dan selalu memusnahkan kemunafikan. Yang tak akan pernah mati idealismenya, bahkan ketika realita menamparnya sedemikian rupa.

Aah, Soe Hok Gie, betapa aku ingin melihat sosok mahasiswa sepertimu...